Kamis, 25 April 2013

Cabang-Cabang Ilmu Hadits

CABANG-CABANG ILMU HADITS




Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M. A





Oleh:
Sri Rusminati              (113511073)
Lailatul Maghfiroh      (113611026)

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
       I.            PENDAHULUAN
            Sebelum kita membahas tentang cabang-cabang dari ilmu hadits, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu apa yang dinamakan dengan ilmu hadits itu sendiri. Menurut ulama’ mutaqaddimin, yang dimaksud dengan ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW. dari  segi hal ihwal para perawinya, kedhabitan, keadilan, dari bersambung tidaknya sanad, dan sebagainya.
            Dan pada perkembangan selanjutnya, oleh ulama’ mutaakhirin, ilmu hadits ini dipecah menjadi dua, yaitu ilmu Hadits Riwayah dan ilmu Hadits Dirayah. Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ini, pada perkembangan berikutnya, muncullah cabang-cabang ilmu hadits lainnya.
            Adapun jumlah cabang ilmu hadits itu begitu banyak, dan para ulama menghitungnya secara beragam. Akan tetapi di dalam makalah ini, kami hanya membahas empat cabang dari ilmu hadits tersebut, yaitu ilmu Rijal al-Hadits, ilmu Asbab Wurud al-Hadits, ilmu Mukhtalif al-Hadits, dan ilmu Ma’ani al-Hadits. Yang mana cabang-cabang tersebut akan diuraikan berikut ini.[1]

    II.            Ilmu Rijal al-Hadits
       Secara bahasa, kata rijal al-hadits, artinya orang-orang di sekitar hadits, maka kata ilmu rijal al-hadits artinya ialah ilmu tentang orang-orang di sekitar hadits.[2] Secara teminologis, ilmu rijal al-hadits ialah:
علم يعرف به رواة الحديث من حيث انهم رواة للحديث
“Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits”.
Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena sebagaimana diketahui, bahwa obyek kajian hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu rijal hadits ini lahir bersama-sama dengan periwayatan hadits dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.[3]
            Ulama yang pertama kali memperkenalkan dan mempelajari secara serius ilmu ini ialah al-Bukhari, ‘Izzad bin ibn al-Atsir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Atsir (630 H), ulama abad ke tujuh hijriyah, yang berhasil menyusun kitab Usud al-Gabah fi Asma ash-Shahabah.   Kitab ini memuat uraian tentang para sahabat Nabi SAW. atau rijal al-hadits pada thabaqah pertama, meskipun di dalamnya terdapat nama-nama yang bukan sahabat.[4]
            Di antara kitab yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah para perawi thabaqat demi thabaqat adalah karya Muhammad ibn Sa’ad (w.230 H) yaitu Thabaqat al-Kubra dan karya Khalifah ibn ‘Ashfari (w.240 H) yaitu Thabaqat al-Ruwwah, dan lain-lain.
            Apabila dilihat lebih lanjut, ditemukan adanya dua cabang ilmu hadits lainnya yang dicakup oleh ilmu ini, yaitu ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan ilmu tarikh al-ruwah.[5]

 III.             Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
            Kata asbab wurud al-hadits atau disebut juga dengan asbab ashudur al-hadits, secara bahasa artinya ialah sebab-sebab adanya hadits itu. Bila dipisahkan kata asbab adalah :
كل شئ يتوصل به الى غيته
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.”

            Ada juga yang mendefinisikan dengan suatu jalan yang menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu. Sedangkan kata wurud bisa berarti sampai, muncul dan mengalir, seperti kata :
                                                                                  ألماء الدى يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir”.

Menurut H.A.Djalil Afif, ilmu Asbab Wurud al-Hadits adalah :
علم يعرف به أسباب ورود الحديث و مناسبته

“Ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab atau latar belakang di wurudkannya hadits dan hal-hal yang berkaitan dengannya”[6]

            Dari uraian pengertian tersebut, asbab wurud al-hadits dapat diberi pengertian yakni “suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW. menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu”. Seperti sabda Rasul saw. tentang kesucian air laut dan apa yang ada di dalamnya. Beliau bersabda : “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadits ini dituturkan oleh Rasul saw. saat berada di tengah lautan dan ada salah seorang sahabat yang merasa kesulitan berwudhu karena tidak mendapatkan iar (tawar). Contoh lain adalah hadits tentang niat, hadits ini dituturkan berkenaan dengan peristiwa hijrahnya Rasul saw. ke Madinah. Salah seorang yang ikut hijrah karena didorong ingin mengawini wanita yang bernama Ummu Qais.
            Urgensi asbab al-wurud terhadap hadits, sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadits , sama halnya dengan urgensi asbab nuzul al-Qur’an terhadap al-Qur’an. Ini terlihat dari beberapa faedahnya , antara lain, dapat mentakhsis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak, menunjukkan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan  kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum. Maka dengan memahami asbab wurud hadits ini, dapat dengan mudah memahami apa yang dimaksud atau yang dikandung oleh suatu hadits. Namun demikian, tidak semua hadits mempunyai asbab wurud, seperti halnya tidak semua ayat al-Qur’an memiliki asbab nuzulnya.[7]
            Ulama pertama yang menyusun ilmu ini adalah Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukrabi (w.309 H), Ibnu Hamzah al-Huzaini (w.1120 H) yang menulis al-Bayan wa at-Ta’rif, as-Suyuthi (w.911 H) yang menulis Asbab Wurud al-Hadits atau al-Luma’ fi Asbab Wurud al-Hadits, dan lain sebagainya

 IV.            Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Ilmu mukhtalif al-hadits ialah
 العلم الَّذي يبحث فى الأَ حا ديث الّتي ظا هرها متعا رضها آويوفق بينها كما يبحث فى الآَ حا ديث التى يشكل فهمها آوْتصورها فيد فع اشكا لها ويوضح حقيقَتها
Artinya:
“Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya sebagaimana membahas hadits-hadist yang sulit dipahami isi atau kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.[8]

Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan mengetahui  ilmu mukhtalif al hadits,maka hadits-hadits yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga dengan kemusykilan yang bterlihat dalam suatu hadits dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut.  
Jadi ilmu ini berusaha mempertemukan dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut ada kalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhshish keumumannya, atau ada kalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya.[9]
Kadang-kadang para muhadditsin menyebutnya dengan musykil al-hadits. Selain itu para ulama menyamakan  ilmu mukhtalif al–hadits dengan ilmu takwil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtilaf al-hadits. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-istilah tersebut mempunyai arti yang sama.
Contoh: Al Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, 1/91, Ibn Khuzaimah dalam sahihnya, 57, Abu ‘Awanah dalam al-Musnad 1/99, dan Ibn Hajar dalam Fath al-Bari 10/177 mentakhrijkan hadits bahwa Rasulullah bersabda:
لا تستقبلواا لقبلة بغا ئط ولابول
Janganlah kamu menghadap kiblat bersamaan dengan buang air besar atau kecil”.
Diriwayatkan oleh Ahad dalam al-Musnad 6/183 dari Aisyah yang katanya:
انَ النبيِ امر بخل ئه ان يستقبل ا لقبلة لما بلغه ان الناس يكرهون ذلك

“Nabi memerintahkan orang-orang untuk mengambil tempat kosong untuk buang air besar menghadap kiblat ketika sampai berita kepadanya bahwa orang-orang tidak suka akan hal itu”.
            Diriwayatkan juga dari Isa Ibn Yunus, dari Abu ‘Awanah dari Khalid al-Haddza dari ‘Arak ibn Malik dari Aisyah bahwasanya beliau berkata: disebutkan kepada Rasulullah bahwa ada satu kaum yang enggan menghadap kiblat karena buang air besar atau kencing, lalu Nabi memerintahkan untuk mengambil tempat kosong, lalu buang hajat menghadap kiblat.
            Teks-teks riwayat di atas secara redaksional terkesan ada kontradiksi. Kata Ibn Qutaibah, bisa terjadi dalam hadits di atas nasakh, karena yang satu berisi larangan dan yang lainnya berisi perintah. [10]
            Tempat yang tidak diperbolehkan untuk buang hajat dengan menghadap kiblat adalah tempat-tem,pat terbuka yang tidak ada tanaman, dan di padang pasir. Dahulu ketika orang-orang bepergian, lalu singgah disuatu tempat untuk melakukan shalat, maka sebagian menghadap kiblat dalam rangka shalat, sebagian yang lain menghadap kiblat sambil buang hajat. Oleh sebab itu, Nabi melarang mereka unttuk menghadap kiblat sewaktu buang hajat, sebagai penghormatan kepada kiblat dan penyucian terhadap shalat.
            Sebagian orang menduga bahwa hal seperti ini, yaitu buang hajat menghadap kiblat, sudah dilarang atau makhruh jika dilakukan di dalam rumah-rumah dan tempat-tempat khusus untuk buang hajat, seperti WC, dan tempat-tempat lain yang khusus yang diperuntukan buang hajat. Maka oleh karena itu, Nabi memberitahukan unttuk menyingkir kepada mereka dan mengambil tempat sepi dan kosong untuk buang hajat, dan di sana boleh menghadap ke kiblat. Nabi bermaksud memberi pengajaran kepada mereka bahwa buang hajat di tempat-tempat khusus itu tidak di larang dengan menghadap ke arah kiblat, seperti di rumah-rumah, sumur-sumur galian untuk buang hajat, yang kotorannya tertutup, juga di tempat-tempat yang khusus disiapkan untuk ituyang tidak boleh dipakai untuk shalat.
    V.            Ilmu Ma’ani
            Kata (معا نى  ) merupakan bentuk jamak dari ( معنى ). Secara leksikal kata tersebut berarti maksud, arti, atau makna. Para ahli ilmu ma’ani mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
            Sedangkan menurut istilah, ilmu ma’ani adalah ilmu untuk mengetahui hal ihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.

علم يعرف به احوال اللفظ العربي التى بها يطا بق مقتضى الحا ل

            Ilmu ma’ani mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa menyampaikan gagasan atau ide kepada mukhathab sesuai dengan kondisi dan situasinya.[11]Ilmu ma’ani pertama kali dikembangkan oleh Abd al-Qahir al-Jurzani.

            Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat bahasa Arab. Ditemuannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan Al-Qur’an, hadits dan rahasia-rahasia kefasihan-kefasihan bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Dengan mengetahui ilmu ini kita bisa membedakan kalimat-kalimat yang sesuai dengan situasi dan kondisinya, menghetahui kalimat-kalimat yang tersusun rapi, dan dapat membedakan antara kalimat yang  dan yang baik. Dan objek kajian ilmu ma’ani sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani.

 VI.            PENUTUP
Dari uraian di atas dapat kami menyimpulkan bahwa:
            Ilmu rijal al-hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.
            Ilmu Asbab Wurud al-Haditd adalah suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW. menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.
            Ilmu mukhtalif al-hadits merupakan ilm yang berusaha mempertemukan dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut ada kalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhsish keumumannya, atau ada kalanya dengan memilih sanad yang lebh kuat atau yang lebih banyak datangnya.
            Ilmu ma’ani yaitu ilmu untuk mengetahui hal ihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.
            Demikianlah makalah ini kami susun. Kami menyadari bahwa makalah  ini masih memerlukan upaya penyempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi  kita semua.

DAFTAR  KEPUSTAKAAN

Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nuruddin. 2012. ‘Ulumul Hadits. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Yayan Nurbayan dan Mamat Zaenuddin. 2007. Pengantar Ilmu Balaghah. Bandung: PT Refika Aditama.
Zuhad. 2011. Metode Pemahaman HadisMukhtalif dan Asbab al-Wurud. Semarang: Rasail.


[1]  Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2003), hlm.23-30
[2]  Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia  Indonesia. 2010), hlm.76
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2003), hlm.30
[4] Sohari sahrani, Ulumul hadits,( Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.76
[5] Munzier Suparta,  Ilmu hadits, ( Jakarta: Raja grafindo persada, 2003), hlm.30-31
[6] Sohari sahrani, Ulumul hadits, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.78-79
[7] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003,  hlm.39-40
                [8] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999), hlm. 58
[9] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 43
[10]  Zuhad, Metode Pemahaman Hadis Mukhtalif dan Asbab al-Wurud, (Semarang: Rasail, 2011), hlm. 11
[11]  Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan. Pengantar Ilmu Balaghah. (Bandung: PT Refika Aditama. 2007). hlm. 73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar