CABANG-CABANG ILMU HADITS
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M. A
Oleh:
Sri Rusminati (113511073)
Lailatul Maghfiroh (113611026)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Sebelum kita membahas tentang
cabang-cabang dari ilmu hadits, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih
dahulu apa yang dinamakan dengan ilmu hadits itu sendiri. Menurut ulama’
mutaqaddimin, yang dimaksud dengan ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan yang
membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW.
dari segi hal ihwal para perawinya,
kedhabitan, keadilan, dari bersambung tidaknya sanad, dan sebagainya.
Dan pada
perkembangan selanjutnya, oleh ulama’ mutaakhirin, ilmu hadits ini dipecah
menjadi dua, yaitu ilmu Hadits Riwayah dan ilmu Hadits Dirayah. Dari ilmu
Hadits Riwayah dan Dirayah ini, pada perkembangan berikutnya, muncullah
cabang-cabang ilmu hadits lainnya.
Adapun
jumlah cabang ilmu hadits itu begitu banyak, dan para ulama menghitungnya
secara beragam. Akan tetapi di dalam makalah ini, kami hanya membahas empat
cabang dari ilmu hadits tersebut, yaitu ilmu Rijal al-Hadits, ilmu Asbab Wurud
al-Hadits, ilmu Mukhtalif al-Hadits, dan ilmu Ma’ani al-Hadits. Yang mana
cabang-cabang tersebut akan diuraikan berikut ini.[1]
II.
Ilmu Rijal al-Hadits
Secara
bahasa, kata rijal al-hadits, artinya orang-orang di sekitar hadits, maka kata
ilmu rijal al-hadits artinya ialah ilmu tentang orang-orang di sekitar hadits.[2]
Secara teminologis, ilmu rijal al-hadits ialah:
علم يعرف
به رواة الحديث من حيث انهم رواة للحديث
“Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam
kapasitasnya sebagai perawi hadits”.
Ilmu
ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena
sebagaimana diketahui, bahwa obyek kajian hadits pada dasarnya ada dua hal,
yaitu matan dan sanad. Ilmu rijal hadits ini lahir bersama-sama dengan
periwayatan hadits dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari
persoalan-persoalan di sekitar sanad.[3]
Ulama yang pertama kali memperkenalkan
dan mempelajari secara serius ilmu ini ialah al-Bukhari, ‘Izzad bin ibn
al-Atsir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Atsir (630 H), ulama
abad ke tujuh hijriyah, yang berhasil menyusun kitab Usud al-Gabah fi Asma
ash-Shahabah. Kitab ini memuat uraian
tentang para sahabat Nabi SAW. atau rijal al-hadits pada thabaqah
pertama, meskipun di dalamnya terdapat nama-nama yang bukan sahabat.[4]
Di antara kitab yang paling tua yang
menguraikan tentang sejarah para perawi thabaqat demi thabaqat adalah karya
Muhammad ibn Sa’ad (w.230 H) yaitu Thabaqat al-Kubra dan karya Khalifah ibn
‘Ashfari (w.240 H) yaitu Thabaqat al-Ruwwah, dan lain-lain.
Apabila dilihat lebih lanjut,
ditemukan adanya dua cabang ilmu hadits lainnya yang dicakup oleh ilmu ini,
yaitu ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan ilmu tarikh al-ruwah.[5]
III.
Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Kata asbab wurud al-hadits atau
disebut juga dengan asbab ashudur al-hadits, secara bahasa artinya ialah
sebab-sebab adanya hadits itu. Bila dipisahkan kata asbab adalah :
كل شئ يتوصل به الى غيته
“Segala sesuatu yang mengantarkan
pada tujuan.”
Ada
juga yang mendefinisikan dengan suatu jalan yang menuju terbentuknya suatu
hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu. Sedangkan kata wurud bisa
berarti sampai, muncul dan mengalir, seperti kata :
ألماء الدى
يورد
“Air yang memancar atau air yang
mengalir”.
Menurut H.A.Djalil Afif, ilmu Asbab Wurud al-Hadits
adalah :
علم يعرف به أسباب ورود الحديث و
مناسبته
“Ilmu pengetahuan yang menjelaskan
sebab-sebab atau latar belakang di wurudkannya hadits dan hal-hal yang
berkaitan dengannya”[6]
Dari uraian pengertian tersebut,
asbab wurud al-hadits dapat diberi pengertian yakni “suatu ilmu pengetahuan
yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW. menuturkan sabdanya dan waktu
beliau menuturkan itu”. Seperti sabda Rasul saw. tentang kesucian air laut dan
apa yang ada di dalamnya. Beliau bersabda : “Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya”. Hadits ini dituturkan oleh Rasul saw. saat berada di tengah
lautan dan ada salah seorang sahabat yang merasa kesulitan berwudhu karena
tidak mendapatkan iar (tawar). Contoh lain adalah hadits tentang niat, hadits
ini dituturkan berkenaan dengan peristiwa hijrahnya Rasul saw. ke Madinah.
Salah seorang yang ikut hijrah karena didorong ingin mengawini wanita yang
bernama Ummu Qais.
Urgensi asbab al-wurud terhadap
hadits, sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadits , sama halnya
dengan urgensi asbab nuzul al-Qur’an terhadap al-Qur’an. Ini terlihat dari
beberapa faedahnya , antara lain, dapat mentakhsis arti yang umum, membatasi
arti yang mutlak, menunjukkan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu
hukum. Maka dengan memahami asbab wurud hadits ini, dapat dengan mudah memahami
apa yang dimaksud atau yang dikandung oleh suatu hadits. Namun demikian, tidak
semua hadits mempunyai asbab wurud, seperti halnya tidak semua ayat al-Qur’an
memiliki asbab nuzulnya.[7]
Ulama pertama yang menyusun ilmu ini
adalah Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukrabi (w.309 H), Ibnu Hamzah
al-Huzaini (w.1120 H) yang menulis al-Bayan wa at-Ta’rif, as-Suyuthi (w.911 H)
yang menulis Asbab Wurud al-Hadits atau al-Luma’ fi Asbab Wurud al-Hadits, dan
lain sebagainya
IV.
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Ilmu mukhtalif al-hadits ialah
العلم الَّذي يبحث فى الأَ حا ديث الّتي ظا هرها
متعا رضها آويوفق بينها كما يبحث فى الآَ حا ديث التى يشكل فهمها آوْتصورها فيد فع
اشكا لها ويوضح حقيقَتها
Artinya:
“Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits
yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan
tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya sebagaimana
membahas hadits-hadist yang sulit dipahami isi atau kandungannya, dengan
menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.[8]
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan
mengetahui ilmu mukhtalif al hadits,maka
hadits-hadits yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan
pertentangan itu sendiri. Begitu juga dengan kemusykilan yang bterlihat dalam
suatu hadits dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits
tersebut.
Jadi ilmu ini berusaha mempertemukan dua atau lebih hadits
yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut
ada kalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhshish
keumumannya, atau ada kalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang
lebih banyak datangnya.[9]
Kadang-kadang para muhadditsin menyebutnya dengan musykil
al-hadits. Selain itu para ulama menyamakan ilmu mukhtalif al–hadits dengan ilmu takwil
al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtilaf al-hadits. Akan
tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-istilah tersebut mempunyai arti yang sama.
Contoh: Al Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, 1/91, Ibn
Khuzaimah dalam sahihnya, 57, Abu ‘Awanah dalam al-Musnad 1/99, dan Ibn
Hajar dalam Fath al-Bari 10/177 mentakhrijkan hadits bahwa Rasulullah bersabda:
لا تستقبلواا
لقبلة بغا ئط ولابول
“Janganlah kamu menghadap kiblat bersamaan
dengan buang air besar atau kecil”.
Diriwayatkan
oleh Ahad dalam al-Musnad 6/183 dari Aisyah yang katanya:
انَ النبيِ
امر بخل ئه ان يستقبل ا لقبلة لما بلغه ان الناس يكرهون ذلك
“Nabi memerintahkan orang-orang untuk mengambil tempat kosong untuk
buang air besar menghadap kiblat ketika sampai berita kepadanya bahwa
orang-orang tidak suka akan hal itu”.
Diriwayatkan juga dari Isa Ibn Yunus, dari Abu ‘Awanah
dari Khalid al-Haddza dari ‘Arak ibn Malik dari Aisyah bahwasanya beliau
berkata: disebutkan kepada Rasulullah bahwa ada satu kaum yang enggan menghadap
kiblat karena buang air besar atau kencing, lalu Nabi memerintahkan untuk
mengambil tempat kosong, lalu buang hajat menghadap kiblat.
Teks-teks
riwayat di atas secara redaksional terkesan ada kontradiksi. Kata Ibn Qutaibah,
bisa terjadi dalam hadits di atas nasakh, karena yang satu berisi larangan dan
yang lainnya berisi perintah. [10]
Tempat
yang tidak diperbolehkan untuk buang hajat dengan menghadap kiblat adalah tempat-tem,pat
terbuka yang tidak ada tanaman, dan di padang pasir. Dahulu ketika orang-orang
bepergian, lalu singgah disuatu tempat untuk melakukan shalat, maka sebagian
menghadap kiblat dalam rangka shalat, sebagian yang lain menghadap kiblat
sambil buang hajat. Oleh sebab itu, Nabi melarang mereka unttuk menghadap
kiblat sewaktu buang hajat, sebagai penghormatan kepada kiblat dan penyucian
terhadap shalat.
Sebagian
orang menduga bahwa hal seperti ini, yaitu buang hajat menghadap kiblat, sudah
dilarang atau makhruh jika dilakukan di dalam rumah-rumah dan tempat-tempat
khusus untuk buang hajat, seperti WC, dan tempat-tempat lain yang khusus yang
diperuntukan buang hajat. Maka oleh karena itu, Nabi memberitahukan unttuk
menyingkir kepada mereka dan mengambil tempat sepi dan kosong untuk buang
hajat, dan di sana boleh menghadap ke kiblat. Nabi bermaksud memberi pengajaran
kepada mereka bahwa buang hajat di tempat-tempat khusus itu tidak di larang
dengan menghadap ke arah kiblat, seperti di rumah-rumah, sumur-sumur galian
untuk buang hajat, yang kotorannya tertutup, juga di tempat-tempat yang khusus
disiapkan untuk ituyang tidak boleh dipakai untuk shalat.
V.
Ilmu Ma’ani
Kata (معا نى ) merupakan bentuk jamak dari ( معنى ). Secara leksikal kata tersebut
berarti maksud, arti, atau makna. Para ahli ilmu ma’ani mendefinisikannya
sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau
disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
Sedangkan
menurut istilah, ilmu ma’ani adalah ilmu untuk mengetahui hal ihwal lafazh
bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.
علم يعرف به احوال اللفظ العربي التى بها يطا بق مقتضى الحا ل
Ilmu
ma’ani mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab
dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa
menyampaikan gagasan atau ide kepada mukhathab sesuai dengan kondisi dan
situasinya.[11]Ilmu
ma’ani pertama kali dikembangkan oleh Abd al-Qahir al-Jurzani.
Objek
kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat bahasa Arab. Ditemuannya ilmu ini
bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan Al-Qur’an, hadits dan rahasia-rahasia
kefasihan-kefasihan bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Dengan mengetahui
ilmu ini kita bisa membedakan kalimat-kalimat yang sesuai dengan situasi dan
kondisinya, menghetahui kalimat-kalimat yang tersusun rapi, dan dapat membedakan
antara kalimat yang dan yang baik. Dan
objek kajian ilmu ma’ani sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan
digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani.
VI.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat kami menyimpulkan
bahwa:
Ilmu
rijal al-hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam
kapasitasnya sebagai perawi hadits.
Ilmu
Asbab Wurud al-Haditd adalah suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang
sebab-sebab Nabi SAW. menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.
Ilmu
mukhtalif al-hadits merupakan ilm yang berusaha mempertemukan dua atau lebih
hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits
tersebut ada kalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhsish
keumumannya, atau ada kalanya dengan memilih sanad yang lebh kuat atau yang
lebih banyak datangnya.
Ilmu
ma’ani yaitu ilmu untuk mengetahui hal ihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai
dengan tuntutan situasi dan kondisi.
Demikianlah
makalah ini kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini masih memerlukan upaya penyempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nuruddin. 2012. ‘Ulumul Hadits. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Yayan Nurbayan
dan Mamat Zaenuddin. 2007. Pengantar Ilmu Balaghah. Bandung: PT Refika
Aditama.
Zuhad. 2011. Metode
Pemahaman HadisMukhtalif dan Asbab al-Wurud. Semarang: Rasail.
[3]
Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2003), hlm.30
[7] Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003, hlm.39-40
[10]
Zuhad, Metode Pemahaman Hadis Mukhtalif dan
Asbab al-Wurud, (Semarang: Rasail, 2011), hlm. 11
[11] Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan.
Pengantar Ilmu Balaghah. (Bandung: PT Refika Aditama. 2007). hlm. 73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar